Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index

Lingkungan    
 
Gula
Politik Gula dan Konflik yang Tak Berujung
Friday 22 Feb 2013 15:23:30

Walhi.(Foto: Ist)
JAKARTA, Berita HUKUM - Jika melihat dari sejarahnya, pembangunan perekonomian Indonesia memang tidak bisa dilepaskan dari semangat nasionalisme yang ditumbuhkan untuk menjadi sebuah bangsa yang mandiri, setelah sekian waktu lamanya dibawah jajahan imperialisme baik secara ekonomi maupun politik. Perkebunan menjadi salah satu sektor strategis yang menjadi objek dari nasionalisasi pengelolaan kekayaan alam Indonesia yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dimana PTPN menjadi salah satu BUMN strategis yang menguasai dan mengelola perkebunan dalam berbagai komoditas, sebutlah gula salah satunya.

Sebagai sebuah unit ekonomi yang dijalankan oleh sebuah badan usaha milik negara, sudah menjadi keharusan pedoman pokok dari pelaksanaan operasionalnya mengacu pada amanat Konstitusi pada pasal 33 dimana negara menguasai aset penghidupan untuk kesejahteraan dan kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat melalui cabang-cabang produksi strategis untuk kepentingan nasional.

Ironinya, belum lagi cita-cita kemandirian negara melalui unit ekonomi yang dikelola BUMN perkebunan salah satunya, dalam prakteknya jauh dari pelaksanaan amanah konstitusi tersebut. Rasanya hampir tidak beda, unit usaha yang dikuasai dan dikelola oleh perusahaan negara dengan pengelolaan yang dilakukan oleh swasta baik asing maupun nasional. Bahkan, watak yang dikritik dari kolonialisasi ekonomi di sektor perkebunan, diduplikasi oleh BUMN.

Kebijakan perkebunan negara di jaman Orde baru menambah beban konflik dan persoalan agraria dan sumberdaya alam di Indonesia. Tanah rakyat yang diambil paksa di jaman kolonial, berlanjut pada pengambilan paksa yang dilakukan oleh negara yang mengambil alih eks perkebunan yang ditinggalkan oleh kolonial Belanda. Tanah rakyat diambil secara paksa atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Monopoli atas tanah dan sumber daya alam, berujung pada perampasan tanah-tanah rakyat, hilangnya sumber penghidupan rakyat dan terdegradasinya lingkungan hingga menghilangkan potensi varietas lain.

Perubahan skema pengelolaan perkebunan negara dari Orde Lama yang lebih berorientasi pada pelayan terhadap rakyat dan membangun keberdayaan masyarakat sekitar perkebunan, diubah menjadi perkebunan yang berorientasi pasar dan lebih mementingkan keuntungan besar bagi PTPN yang ada. Akibatnya persaingan antar PTPN tidak dapat dielakkan. Konsekuensi logis dari hal tersebut tentu adalah hilangnya ruang hidup dan penghidupan akibat perluasan dan perampasan tanah oleh negara. Kekerasan dan konflik yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadi sebuah cerita yang menghiasi perjuangan rakyat untuk mempertahankan sumber penghidupannya.

Kritik terhadap BUMN di sektor perkebunan tidak hanya berhenti pada soal bagaimana monopoli mereka atas tanah dan sumber daya alam. Tata kelola BUMN perkebunan juga dinilai buruk. Ditengah upaya meningkatkan persaingan terhadap perkebunan swasta. Perkebunan Negara justru menghadapi berbagai persoalan internal kelembagaan, salah satunya regulasi BUMN jauh lebih banyak daripada swasta. Ditambah dengan persoalan korupsi kolusi dan nepotisme, akhirnya badan usaha negara ini menjadi sapi perahan dan ladang emas bagi elit politik, partai politik, penguasa dan lain-lain.

Jurnal Tanah Air edisi kali ini mengupas Perkebunan Gula yang dikelola oleh PTPN dalam sebuah relasi ekonomi politik. Sedikit banyak, pilihan tema ini memang dipengaruhi oleh maraknya konflik agraria dan sumber daya alam yang diadvokasi oleh WALHI dan menjadi perhatian publik luas, antara lain yang terjadi pada dua kebun tebu/gula milik PTPN .

WALHI mencatat lebih dari 10 kasus konflik lahan yang berhubungan dengan PTPN. Nyawa yang hilang, kekerasan, kriminalisasi dialami oleh rakyat yang memperjuangkan hak atas tanahnya di berbagai tempat, antara lain Ogan Ilir dan Takalar. Perkebunan gula negara tidak pernah dirasakan manisnya bagi rakyat yang ada di sekitarnya. Secara subjektif, pilihan tema dalam Tanah Air ini juga dilandasi atas meningkatnya eskalasi pelanggaran hak asasi manusia dengan pengerahan pasukan keamanan (kepolisian) yang ditujukan untuk mengamankan bisnisnya. Kami melihat ada koneksi yang begitu kuat dan relasi yang saling terikat antara kepentingan ekonomi dan politik, sehingga praktek buruk industri gula yang dikelola oleh badan usaha negara terus berlangsung dan hampir tidak tersentuh secara hukum.

Jurnal Tanah Air mencoba mengangkat edisi terkait dengan praktek buruk BUMN perkebunan gula, dalam relasinya dengan ekonomi politik sebagai sebuah kesatuan yang satu sama lain saling mendukung. Analisis yang dituangkan oleh para penulis terkait dengan politik pergulaan dan bagaimana relasi ekonomi politiknya menjadi jalan untuk mengembangkan diskursus wacana kedalam kerja-kerja praksis advokasi di lapangan bersama dengan masyarakat untuk memperjuangkan keadilan ekologis dan reforma agraria.

Selain membahas fakta-fakta atas praktek buruk BUMN perkebunan gula yang dituliskan oleh Direktur WALHI Sulawesi Selatan dan WALHI Sumatera Selatan dari kerja advokasi yang dilakukan selama ini, apa yang terjadi dalam berbagai kasus di perkebunan gula ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut sebagai sebuah monopoli penguasaan negara atas tanah dan sumber kehidupan rakyat sebagaimana yang dituliskan oleh Harry Prabowo.

Yang menjadi penting untuk secara fundamental dilihat adalah bagaimana penataan ulang sektor perkebunan ini jika dihubungkan dengan skema lain dalam pengelolaan sabang produksi ekonomi negara di bawah BUMN yang memang sudah berjalan. Karena itulah penting untuk melihat kembali mandat dan tujuan dibentuknya BUMN. Dani Setiawan dalam tulisannya sesungguhnya ingin mendudukkan BUMN sebagai sebuah instrumen ekonomi kerakyatan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana mandat konstitusi. Pemaparan Tulisan ini menjadi penting di tengah kebijakan melakukan upaya privatisasi BUMN salah satunya di sektor perkebunan. BUMN merupakan alat negara untuk menjalankan demokrasi ekonomi di Indonesia sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar 1945 pasal 33.

Menata ulang pengelolaan perkebunan gula dan komoditas lain tentulah tidak segampang membalikkan telapak tangan. Hambatan terbesarnya ada pada political will pengurus negara ini, apakah mau merubah cara pandangnya dalam melihat kekayaaan alam dan bagaimana memandang unit usaha ekonomi yang dijalankan oleh badan usaha negara tersebut. Mungkin klise terdengarnya, namun political will ini menjadi penting untuk diangkat mengingat ada persoalan lain yang tidak kalah dalam pertarungan yang kritis yakni kepentingan politik kekuasaan. Sistem politik yang transaksional dinilai oleh banyak kalangan sebagai pemicu pelanggengan model kelola badan usaha negara yang carut marut seperti ini. Muammar Khadafi dalam tulisannya mencoba mengungkap bagaimana pola-pola atau modus-modus operasional BUMN perkebunan yang membuka peluang menjadi bancakan politik oleh para elit politik dan partai politik pendukungnya. Sehingga berproduksi dengan cara-cara yang kotor dan melanggar HAM menjadi sebuah keniscayaan.

Konflik agraria kini telah menjadi perhatian publik, setidaknya sejak kasus penembakan dan kriminalisasi terhadap warga terjadi di Ogan Ilir, reforma agraria kembali bergulir dan terus diperbincangkan dalam diskursus baik di tingkatan elit, kelompok masyarakat sipil dan sedikit banyak mulai menggeliat menjadi “bakaran” api yang memantik perjuangan di berbagai daerah. Harapannya, tentulah persoalan agraria tidak bisa hanya didekati pada penanganan kasus perkasus atau konflik perkonflik. Penyelesaian konflik agraria harus dilihat sebagai sebuah jalan menuju perwujudan reforma agraria. Usep Setiawan mecoba melihat dan menawarkan konsep dan gagasan reforma agraria di sektor perkebunan yang pengelolaanya diserahkan kepada petani sebagai sebuah jawaban atas terus meningkatnya konflik agraria di perkebunan negara. Ini sejalan dengan semangat awal nasionalisasi untuk membangun kemandirian bangsa. Penataan ulang sektor perkebunan dengan memberikan hak pengelolaan perkebunan kepada rakyat dinilai sebagai sebuah jalan atas penyelesaian konflik agraria yang terjadi di perkebunan.

Berbagai pandangan yang ditulis dalam jurnal Tanah Air ini tidak dilihat sebagai bagian yang satu sama lain saling terpisahkan. Karena pada akhirnya kita berharap, bahwa carut marutnya pengelolaan kekayaan alam di Indonesia sudah waktunya berubah dan berpihak kepada rakyat, konflik agraria di kebun-kebun negara seperti PTPN harus segera diakhiri dan diselesaikan dengan memenuhi rasa keadilan bagi rakyat dan pada akhirnya kita berharap reforma agraria, demokrasi ekonomi dan keadilan ekologis benar-benar dapat diwujudkan.(wlh/bhc/opn)


 
Berita Terkait Gula
 
 
Untitled Document

 Beranda | Berita Utama | White Crime | Lingkungan | EkBis | Cyber Crime | Peradilan | Pidana | Perdata | Pledoi | Politik | Legislatif | Eksekutif | Selebriti | Pemilu | Nusantara | Internasional | ResKrim | Gaya Hidup | Opini Hukum | Profil | Editorial | Index


  Berita Terkini >>
 
Polri dan KKP Gagalkan Penyelundupan Benih Bening Lobster Senilai 19,2 Miliar di Bogor
Oknum Notaris Dilaporkan ke Bareskrim Polri atas Dugaan Penggelapan Dokumen Klien
Kuasa Hukum Mohindar H.B Jelaskan Legal Standing Kepemilikan Merek Polo by Ralph Lauren
Dewan Pers Kritik Draf RUU Penyiaran: Memberangus Pers dan Tumpang Tindih
Polisi Tetapkan 4 Tersangka Kasus Senior STIP Jakarta Aniaya Junior hingga Meninggal
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?
Untitled Document

  Berita Utama >
   
Polri dan KKP Gagalkan Penyelundupan Benih Bening Lobster Senilai 19,2 Miliar di Bogor
Mengapa Dulu Saya Bela Jokowi Lalu Mengkritisi?
Mudik Lebaran 2024, Korlantas: 429 Orang Meninggal Akibat Kecelakaan
Kapan Idul Fitri 2024? Muhammadiyah Tetapkan 1 Syawal 10 April, Ini Versi NU dan Pemerintah
Refly Harun: 6 Ahli yang Disodorkan Pihak Terkait di MK Rontok Semua
PKB soal AHY Sebut Hancur di Koalisi Anies: Salah Analisa, Kaget Masuk Kabinet
Untitled Document

Beranda | Tentang Kami | Hubungi | Redaksi | Partners | Info Iklan | Disclaimer

Copyright2011 @ BeritaHUKUM.com
[ View Desktop Version ]